pengertian dzat allah dan dalilnya

laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( QS. Al-Maidah : 38). Ayat ini menetapkan bahwa pencurian menjadi sebab diwajibkanya potong tangan. b. Macam-macam Hukum Wad'i. ImanKepada Kitab Allah Rukun Iman ke 3 yang Harus Dipahami Pengertian dan Dalilnya. Kajian karena dzat dan sifat Allah berbeda dengan para makhluk. Dan juga mengimani kebenaran apapun yang terdapat dalam kitab-kitab Allah, baik terkait berita masalalu atau yang akan datang. Pengertian Aqiqah adalah binatang yang disembelih untuk LANGIT7ID, Jakarta - Ada doa yang bisa mengantarkan rezeki dengan mudah. Amalan ini cocok untuk umat Islam yang sedang dilanda kesulitan, khususnya masalah finansial. Sebelum melakukan amalan untuk mempermudah rezeki, ada baiknya umat memahami konsep rezeki dalam Islam terlebih dulu. Pertama, Allah SWT memberikan rezeki sesuai dengan ukuran dan perhitungan yang pas kepada setiap hamba-Nya. BACAJUGA: Arti Hukum Mubah dalam Islam Beserta Contoh dan Dalilnya. Doa akhir tahun Hijriah 1443 H versi Arab. maka aku mohon kepada-Mu ya Allah, Dzat Yang Maha Pemurah, Dzat Yang Maha Luhur lagi Mulia, terimalah persembahanku dan janganlah Engkau putus harapanku dari-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pemurah! Pengertian Sugar Daddy Beserta 4dn4n788 Jawaban: makanan halal adalah makanan yang baik menurut agama dan kesehatan sedangkan, makanan haram adalah makanan atau suatu benda yang haram dikonsumsi oleh manusia terutama umat islam dan apabila tetap mengkonsumsinya maka ia berdosa. dalilnya ada pada surat. Al-Maidah ayat 3 "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas Starstruck Rencontre Avec Une Star Streaming Gratuit. Pengertian DalilJenis-Jenis DalilDalil AqliDalil NaqliPerbedaan Dalil dan HadistContoh DalilShare thisRelated posts Pernahkah ketika sedang ngobrol tentang agama ditanya dalilnya dari mana? Apakah bisa Anda jawab? Nah di artikel ini akan dijelaskan pengertian dalil, jenis-jenisnya dan yang membedakan dengan hadist. Seperti yang banyak kalangan ketahui, bahwa dalil sangat penting dalam mengambil kesimpulan suatu perkara ada petunjuknya atau keterangannya yang bisa dijadikan bukti. Dalam agama islam tentu semuanya sudah diatur dalam berbagai aspek kehidupan, dari aspek ibadah sampai aspek muamalah. Semua sudah diatur secara universal oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sebagai ummat islam haruslah patuh terhadap perintah Allah SWT. Yang di mana senantiasa melakukan segala sesuatu dengan sumber dalil yang jelas, agar hidupnya selamat di dunia maupun di akhirat. Pengertian dalil menurut bahasa artinya adalah petunjuk, sedangkan menurut istilah artinya yaitu bukti yang bisa dijadikan sebagai sebuah petujuk untuk mengungkapkan apakah permasalahan tersebut benar atau salah. Ada juga pengertian lain yang menyatakan bahwa, dalil ini merupakan sebuah keterangan yang dapat dijadikan suatu bukti atau alasan kebenaran, terutama yang didasarkan pada Al-Qur’an. Dalil merupakan suatu keterangan yang dijadikan sebagai bukti sebuah kebenaran dalam suatu perkara. Dalil-dalil muttafaq yang disepakati kesahahihannya ada empat yaitu, diambil dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan juga qiyas analogi. Arti dari ijma’ merupakan suatu proses untuk mengumpulkan berbagai perkara dan memberinya sebuah hukum dari suatu perkara tersebut. Sedangkan qiyas merupakan sebuah proses pengukuran atau mekanisme untuk mencari tahu sebuah hukum, dengan cara menganalisis terlebih dahulu permasalahan yang ada. Setelah itu mengkaitkan permasalahan tersebut dengan dalil-dalil muttafaq yang sudah ada, yaitu dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Artinya bahwa qiyas di sini hanya digunakan apabila suatu hukum tidak ditemukan kejelasannya dari Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Baca Juga Ini Keutamaan Hafal Al-Quran Namun selain dalil muttafaq yang disepakati keshahihannya adapula dalil yang tidak disepakati, akan tetapi digunakan oleh para ulama untuk meng-istinbath atau mencari tahu tentang suatu hukum. Seperti qaul shahabiy pendapat para sahabat, istihsan, mashlahah mursalah, urf adat yang didak bertentangan dengan syara’, syaru man qablana syariat umat terdahulu, saddud dzariah dan istishab. Dalil ini sebagai salah satu petunjuk yang sangat penting dalam islam, karena dalil digunakan untuk menghilangkan adanya segala keraguan dan kecemasan yang ada pada diri ummat islam. Untuk mengetahui sebuah hukum permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, karena sejatinya manusia diciptakan untuk beribadah. Jadi, apapun yang dilakukan manusia dalam kesehariannya itu bisa bernilai ibadah apabila pengerjaannya sesuai pedoman atau dalil yang ada di dalam Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Akan tetapi, penggunaan dalil ini haruslah dipahami terlebih dahulu, sehingga tidak menimbulkan kesimpulan yang salah atau memiliki arti dan makna yang tidak sesuai. Maka dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, dalil merupakan sebuah petunjuk atau tanda bukti untuk mencari kebenaran dalam suatu permasalahan yang terjadi. Jenis-Jenis Dalil Dalil dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu Dalil Aqli Secara istilah dalil aqli dapat diartikan dalam kata aql memiliki arti akal, secara etimologi dalam bahasa arab kata aql mempunyai arti al-hikmah kebijakan, ad-diyah denda, husnut tasharruf tindakan yang benar atau tepat. Namun secara bahasa dalil aqli adalah sebagai petunjuk yang didasarkan pada akal pikiran, sedangkan menurut istilah dalil aqli adalah sebuah bukti-bukti atau alasan terkait sesuatu, apakah benar atau salah yang didasarkan dengan pertimbangan akal pikiran manusia. Dalil aqli ini bisa digunakan untuk membicarakan tentang ilmu aqidah, karena aqidah ini sangat berlaku pada orang-orang yang mempunyai akal sehat. Dalil aqli ini dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu Wajib Aqli Yaitu kepastian akal sehat yang dapat menerima kepastian tertentu. Kemudian aqli wajib sendiri dibagi menjadi dua macam, antaranya yaitu adalah wajib aqli badhihi kebenaran yang dapat diterima oleh akal tanpa adanya pembuktian yang mendalam, atau dapat diterima tanpa dipikir, dan wajib aqli nazhari, yaitu kebenaran sesuatu yang bisa diterima oleh akal manusia, setelah dipikir, dibahas, diuraikan, dan dilakukannya sebuah penelitian. Mustahil Aqli Merupakan akal sehat yang telah mengingkari sesuatu yang terjadi. Mustahil aqli inipun dibagi menjadi dua macam yaitu, mustahi aqli badhi yaitu misalnya mustahil pakaian seorang anak bayi akan bisa dipakai oleh tubuh orang yang dewasa, kemudian mustahil aqli nashari yaitu hal yang ditolak oleh akal setelah adanya pembahasan yang kukuh, misalnya yaitu ada yang dapat menyaingi Allah. Jaiz Aqli Hukum yang ketiga ini dapat diterima atau ditolak oleh akal manusia, misalnya ketika cuaca mendung, ada yang yakin bahwa hari itu akan turun hujan, dan adapula yang yakin bahwa hanya sekedar mendung dan tidak akan turun hujan. Di dalam Al-Qur’an Allah juga menegaskan dalam firman-Nya terkait kewajiban menggunakan akal yaitu ada pada QS. Al-Baqarah ayat 164, yang terjemahannya yaitu “Bahwa sesungguhkan dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turukan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati kering dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang berpikir.” Dalil Naqli Pengertian dalil naqli ini menurut bahasa artinya adalah nash Al-Qur’an atau sunnah, sedangkan menurut istilah artinya adalah sebuah bukti-bukti tentang kebenaran atau ketidakbenaran sesuatu yang terjadi berdasarkan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun manusia Allah berikan akal, namun tak semua sesuatu itu bisa dijangkau oleh akal manusia, dalam arti akal manusia itu ada batasnya. Misalnya saja bahwa manusia itu tidak akan mampu untuk menyelidiki sesuatu yang sifatnya gaib. Contohnya tentang akhirat, ruh, dzat Allah, dan sebagainya. Oleh karena itu perlunya sebuah firman yang datangnya dari Allah kepada Rasul-Nya. Perbedaan Dalil dan Hadist sumber youtube Al-Bahjah TV Dalil mengarah pada pencarian suatu keterangan yang dijadikan sebagai bukti sebuah kebenaran dalam suatu perkara. Atau bisa diartikan bahwa suatu hal yang menunjuk pada sesuatu yang sedang dicari, yaitu berupa alasan, keterangan, dan pendapat yang merujuk pada hal pengertian, hukum, dan sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang dicari. Sedangkan hadist merupakan sesuatu yang bersumber dari perkataan sabda, perbuatan, dan ketetapan, serta persetujuan yang asalnya dari Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan landasan atau rujukan terkait syariat dalam agama islam. Contoh Dalil Yang pertama contoh dari dalil naqli yaitu ada pada QS. Az-Zukruf ayat 87 yang artinya “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab “Allah”, lalu bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari menyembah Allah?” Contoh tersebut merupakan dalil naqli yang di dapat dari firman Allah di dalam Al-Qur’an mengenai keberadaan Allah sebagai pencipta mereka yang selalu menjadi pertanyaan pada seorang muslim. Yang kedua yaitu dalil aqli, yang lebih menggunakan pemikiran seperti pembahasan, teori penyebabnya, dan penelitian. Contohnya bagaimana air hujan bisa turun, orang-orang terdahulu menganggap turunnya air hujan itu adalah bentuk kekuatan dari dewa atau kekuatan gaib. Padahal jika diteliti lagi menggunakan akal, bahwa air hujan terjadi karena ada penyebabnya dari fenomena alam. Yaitu air hujan terjadi karena awalnya berasal dari air laut yang menguap akibat panas matahari, yang setelah itu membentuk uap air kemudian naik ke udara. Uap air tersebut terjadi proses pengembunan yang akan berbentuk awan, dan jika awan tersebut telah penuh dengan uap air, maka uap air tersebut akan turun berbentuk air hujan yang jatuh di permukaan bumi. JAKARTA - Tentang hal ini dapat kita simak dialog antara Nabi Musa As dengan Fir’aun, Allah SWT berfirman “Fir’aun berkata Siapa Tuhan semesta alam itu? Musa menjawab Yaitu Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa di antara keduanya itulah Tuhanmu, jika kamu sekalian orang-orang yang mempercayai-Nya. Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya Apakah kamu tidak mendengarkan? Musa berkata pula Tuhan kamu dan Tuhan nenek-moyang kamu yang dahulu. Fir’aun berkata Sesungguhnya rasul yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila. Musa berkata Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya itulah Tuhanmu jika kamu menggunakan akal” QS. Asy-Syu’araa, 2623-28 Di dalam Al-Qur’an kita akan melihat bahwa wujud Allah yang diyakinkan kepada kita yang pertama melalui fitrah iman dan makhluk ciptaan-Nya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati keringnya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya itu adalah tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan” QS. Al Baqarah, 2164. Demikian pula, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?. Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini apa yang mereka katakan” QS. Ath Thuur, 5235-36. Lebih jelas lagi Allah SWT menjelaskan melalui dialog antara Nabi Musa As dengan Fir’aun. Allah SWT berfirman ”Berkata Fir’aun Maka siapakah Tuhanmu berdua, wahai Musa. Musa berkata Tuhan kami ialah Tuhan yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian Dia memberinya petunjuk” QS. Thaahaa, 2049-50. Inilah beberapa ayat dimana Allah SWT menuntut akal manusia untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya yang sebenarnya bila akal setiap manusia mau berfikir, maka tidak akan ada yang bisa dilakukan oleh manusia kecuali harus menyatakan bahwa Allah adalah pencipta segalanya. Salah satu ayat yang layak kita renungkan dalam kehidupan ini untuk lebih mengenal wujud Allah di antaranya dalam firman-Nya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” QS. Al Imran, 3 190-191. Kembali perlu digarisbawahi bahwa secara fitrah, setiap manusia meyakini keberadaan wujud Allah, dan di samping itu melalui firman-firman-Nya Allah mengajak manusia untuk berfikir tentang penciptaan-Nya. Allah yang kita yakini adalah Dia yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa dari segi Dzat, Sifat, dan juga dari segi aturan dan hukum. Esa dari segi Dzat di antaranya dijelaskan dalam firman-Nya “Katakanlah Dia-lah Allah, Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” QS. Al Ikhlash, 1121-4. Kemudian dalam firman-Nya pula Allah SWT menegaskan “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” QS. Al Baqarah, 2163. Lebih rinci lagi Allah SWT menunjukkan bukti-bukti kesalahan kepercayaan orang-orang musyrik, sebagaimana firman-Nya “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka, Mahasuci Allah yang mempunyai ’Arsy daripada apa yang mereka sifatkan” QS. Al Anbiyaa, 2122. Demikian pula Allah SWT menegaskan “Allah tiada mempunyai anak, dan tiada tuhan bersama-Nya, kalau sekiranya demikian niscaya tiap-tiap tuhan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain. Mahasuci Allah dari yang mereka sifatkan itu” QS. Al Mu’minuun, 2391. Jadi, kita sangat meyakini bahwa yang mengendalikan alam ini hanya Dia, Dia Esa tidak ada yang mendampingi dalam mengendalikan alam semesta alam ini. Sebab kalau ada yang mendampingi maka alam semesta ini akan hancur, yang satu menghendaki bumi berputar, yang satu lagi menghendaki bumi tidak berputar, dan lain sebagainya. Dia juga Esa dalam Rubbubiyyah, sifatnya sebagai Rabb dalam hamdallah, sebagai pencipta, pemelihara, dan pendidik. Dia juga Esa dalam segi Uluhiyah, berarti Esa untuk diibadahi, artinya tidak dimungkinkan kita untuk beribadah kepada selain Allah, karena Dia-lah yang menentukan kehidupan kita iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’iin. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini Ada 2 Pandangan Mengenai Dzat ALLAH SWT Larangan dalam memikirkan Dzat ALLAH SWT. Tidak ada larangan dalam memikirkan Dzat ALLAH SWT. Pandangan di atas sebenarnya bukan suatu perdebatan, melainkan khasanah untuk menjadi orang yang Berfikir dan Berilmu, carilah dengan Berfikir amalkanlah dengan Berilmu. MOHON TULISAN INI JANGAN DIJADIKAN PERANG AQIDAH SEBAGAI AJANG UNTUK MENCARI FIRQAH YANG PALING BAIK DAN BENAR. Ijinkan saya menjelaskan Text biru dan Text Hijau Penjelasan No 1 Larangan dalam memikirkan Dzat ALLAH SWT Allah SWT berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.'” Ali Imran 191. “Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.'” Yunus 101. “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu Karena mereka akan masuk neraka.” Shaad 27. Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah.” Hasan, Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [1788]. Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid dari Rasulullah saw., beliau bersabda “Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya; orang yang memisahkan diri dari jama’ah, ia mendurhakai imam dan mati dalam keadaan durhaka. Budak wanita atau pria yang melarikan diri dari tuannya, lalu mati. Dan seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya dengan memberi perbekalan yang cukup, lalu sepeninggal suaminya ia bersolek untuk lelaki lain.” Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya; Orang yang merampas selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan-Nya, sarung-Nya adalah kemuliaan. Orang yang ragu tentang Allah. Dan orang yang berputus asa terhadap rahmat Allah.” Shahih, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [590], Ahmad [IV/19], Ibnu Hibban [4559], Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [89], dan al-Bazzar [84]. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya syaitan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu mengatakan, Siapakah yang telah menciptakanmu?’ Allah!’ jawabnya. Lalu syaitan bertanya lagi Lalu siapakah yang menciptakan Allah?’ Jika kalian menghadapi hal seperti ini, maka hendaklah ia mengucapkan, Aku beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya.’ Sesungguhnya, ucapan itu dapat menghilangkan waswas syaitan itu.” Shahih, HR Ahmad [VI/258] dan Ibnu Hibban dalam al-Mawarid [41] Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Sesungguhnya syaitan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu berkata, Siapakah yang telah menciptakan ini? Siapakah yang telah menciptakan itu?’ Hingga syaitan berkata kepadanya Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?’ Jika sudah sampai demikian, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dengan mengucapkan isti’adzah dan berhenti.” HR Bukhari [3276] dan Muslim [134]. Dari jalur lain diriwayatkan dengan lafazh. “Hampir tiba masanya orang-orang saling bertanya sesama mereka. Sehingga ada yang bertanya, Allah telah menciptakan ini dan itu, lalu siapakah yang menciptakan Allah?’ Jika mereka mengatakan seperti itu, maka bacakanlah, Katakanlah Dialah Allah, Yang Mahaesa.’ Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.’ Al-Ikhlas 1-4. Kemudian, hendaklah ia meludah ke kiri sebanyak tiga kali, lalu berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan dengan mengucapkan isti’adzah.” HR Abu Dawud [4732], An-Nasa’i dalam Amalul Yaum wal Lailah [460], Abu Awanah [I/81-82], Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhiid [VII/146]. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, Allah SWT berfirman, Sesungguhnya ummatku akan terus-menerus bertanya apa ini, apa itu?’ Hingga mereka bertanya, Allah telah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah'” HR Muslim [136]. Dalam riwayat lain ditambahkan, “Pada saat seperti itu mereka tersesat.” Shahih, HR Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [647]. Kandungan Bab 1. Allah SWT. telah menganjurkan dalam Kitab-Nya agar berfikir dan bertadabbur. Anjuran ini ada dua macam. Pertama, anjuran mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dan ayat-ayat-Nya yang dapat disimak. Agar seorang hamba dapat memahami maksud Allah swt dan dapat meyakini kehebatan atau Al-Qur’an sebagai Kalamullah dan mukjizat yang tidak ada kebathilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebagaimana yang Allah SWT firmankan, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an? kalau kiranya al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” An-Nisaa’ 82. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” Muhammad 24. Kedua, anjuran memikirkan keagungan ciptaan Allah, kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta ayat-ayat yang dapat disaksikan, agar seorang hamba dapat merasakan keagungan al-Khaliq, dapat mengakui Al-Qur’an. Sebagaimana yang Allah SWT. firmankan, “Katakanlah, Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.'” Yunus 101. “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka, bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup bagi kamu, bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” Fushshilat 53. 2. Memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah swt yang dapat disaksikan dan mentadabburi ayat-ayat Allah yang dapat disimak tidaklah dibatasi dengan keadaan atau waktu tertentu seperti yang dibuat-buat oleh kaum sufi atau ahli kalam, dengan menggunakan istilah renungan pemikiran dan lainnya, dalilnya adalah firman Allah SWT, “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Ali Imran 191. 3. Dzat Allah tidak akan bisa terjangkau oleh akal pikiran dan tidak akan bisa dikira-kirakan. Allah SWT. berfirman, “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” Thaahaa 110. Karena Dzat Allah Mahaagung dan Mahatinggi dari kandungan permisalan dan qiyas. “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang penglihatan itu.” Al-An’aam 103. Dan bagi al-Khaliq, tidak ada penyerupaan, tandingan dan juga permisalan, “Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.” Al-Ikhlash 4. Oleh sebab itulah melalui lisan Rasul-Nya, Allah Yang Mahabijaksana melarang berfikir tentang Dzat-Nya Yang Mahasuci. 4. Berfikir tentang Dzat Allah akan menggiring pelakunya kepada keragu-raguan tentang Allah. Dan siapa saja yang ragu tentang Allah, pasti binasa. Sebab ia akan dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang lahir dari permikiran sesat, “Allah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah?” Pertanyaan itu pada hakikatnya sangat kontradiktif dan kabur maksudnya. Sebab Allah adalah Pencipta bukan makhluk! Allah SWT berfirman, “Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan.” Al-Ikhlash 3. Penyatuan dan perkara yang saling kontradiktif adalah sebuah kekeliruan, bahkan sebuah kemustahilan dan ketidakmungkinan. Karena kesamaran itulah, syaitan menerobos masuk ke dalam hati manusia sehingga mereka ragu tentang Allah. Pertanyaan itu pada hakikatnya menyamakan Allah ak-Khaliq dengan makhluk. Tanpa ragu lagi. Makhluk pasti ada yang menciptakannya. Akan tetapi pertanyaan tidak berhenti sampai di situ, bahkan dilanjutkan dengan pertanyaan tentang siapa yang menciptakan Pencipta. Maka, jatuhlah ia dalam penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk, wal iyaadzubillaah. 5. Pengobatan untuk waswas Iblis dan pemikiran-pemikiran syaitan ini, yaitu mengikuti tata cara Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. 1. Membaca surat Al-Ikhlas. 2. Meludah ke kiri sebanyak tiga kali. 3. Berlindung kepada Allah swt dari gangguan syaitan yang terkutuk dengan membaca isti’adzah. 4. Mengatakan, “Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. 5. Memutus waswas dan menghentikan keraguannya. 6. Bimbingan Nabawi tadi merupakan cara yang paling mujarab untuk mengobati penyakit waswas dan lebih ampuh untuk memutusnya daripada cara jidal perdebatan logika yang sempit yang pada umumnya malah membuat orang bingung. Hendaklah orang yang waras akalnya memperhatikan benar sabda Nabi, “Sesungguhnya hal itu dapat menghilangkannya.” Jadi, siapa saja yang melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, maka syaitan pasti lari. 7. Kaum Salafush Shalih menerapkan metodologi Al-Qur’an dalam memutus waswas ini. Diriwayatkan dari Abu Zumail, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas kukatakan padanya, Ada suatu perkara yang terlintas dalam hatiku.'” “Apa itu?” tanya beliau. “Demi Allah, aku tidak ingin membicarakannya!” jawabku pula. Beliau berkata, “Adakah itu sesuatu yang membuatmu ragu?” Beliau tersenyum, lalu berkata, “Tidak ada seorang pun yang terhindar dari hal itu. Namun Allah SWT telah menurunkan firman-Nya, “Maka, jika kamu Muhammad berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca al-Kitab sebelum kamu.” Yunus 94 Lalu ia berkata kepadaku, “Jika engkau merasakan sesuatu yang meragukan di dalam hati, maka katakanlah, Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu.'” Al-Hadiid 3. Shahih, HR Abu Daud [5110]. Sumber Diadaptasi dari Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari Pustaka Imam Syafi’i, 2006, hlm. 91-98. Penjelasan No 2 Tidak ada larangan dalam memikirkan Dzat ALLAH SWT Adanya banyak pemahaman apakah Dzat Allah itu ada, bagaimana wujud-Nya, bagaimana kuasa -Nya dll yang berbeda beda membuat perdebatan tersendiri tentang Tuhan. Sebagai landasan berpikirnya akal kita juga harus berpedoman terhadap kaidah kaidah pokok dalam berakidah. Menurut Syeik Ali Ath Thanthawi dalam kitabnya yang berjudul ” Ta’riif Aam bi Diinil Islam” disebutkan bahwa kaidah kaidah pokok dalam berakidah adalah sbb 1.. Sesuatu yang dapat ditangkap dengan inderaku, maka tidak diragukan lagi bahwa ia itu ada. — > Inilah akal manusia, tetapi berdasarkan pengalamannya fatamorgana yang terjadi di padang pasir sangat mengecoh pengetahuannya tentang adanya sekumpulan air. Pena yang lurus jika diletakkan di dalam gelas akan tampak bengkok. Penglihatan mata tidak mungkin terjadi jika tidak ada cahaya, sementara cahaya tidak berguna untuk seorang yang buta. Jadi disimpulkan, penglihatan fisik sangatlah lemah dan dapat menipu. 2.. Ada beberapa hal yang belum pernah kita lihat dan kita rasakan, namun kita meyakini keberadaannya, seperti halnya yang telah kita rasakan. —> Dicontohkan, kita percaya India atau Brasilia itu ada, padahal kita belum pernah kesana. Demikian halnya, kita percaya bahwa Iskandar al Maqduni telah berhasil membuka negeri Persia. Kita percaya bahwa Walid bin Abdul Malik telah membangun Masjid Jami’ Umawy, padahal kita bukanlah termasuk orang yang ikut perang dan menyaksikan pembangunan masjid tersebut. Lantas kenapa kita meyakini atas peristiwa itu ? Jadi keyakinan disamping diperoleh melalui indera juga melalui berita berita yang disampaikan oleh orang yang shidiq jujur sehingga ucapan dan perkataannya dapat dipercaya oleh orang lain. 3.. Sejauh manakah pengetahuan yang dapat diperoleh indera kita ? Apakah indera kita dapat mengetahui semuanya yang maujud…? —> Perumpaannya adalah seperti seorang yang dipenjara oleh seorang raja di dalam sebuah ruangan dengan pintu dan jendela yang tertutup, serta beberapa celah dinding penjara. Satu celah menghadap ke arah sungai yang mengalir ke sebelah timur, satu celah menghadap ke arah gunung sebelah barat, satu celah menghadap istana di sebelah utara dan celah yang lain menghadap lapangan di sebelah selatan. Dalam perumpamaan ini pengetahuan si terpenjara yang dimiliki sebatas celah celah yang ada di dinding penjara. Seorang yang dipenjara itu tidak akan dapat melihat secara keseluruhan sungai di sebelah timur hanya dari balik celah penjara. Nah, demikian pula indera kita bagaimana mungkin kita bisa melihat semua yang berwujud, sementara indera kita sangat terbatas. Demikianlah kaidah kaidah pokok dalam berakidah. Sejarah membuktikan, bagaimana seorang tokoh komunis seperti Stalin meminta didoakan untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya. Demikian juga DN Aidit – tokoh PKI, bagaimana ia mengatakan saat ditanya apakah ia percaya akan Tuhan..? Ia menjawab ” hanya Tuhanlah yang tahu, apakah saya percaya Tuhan atau tidak”. Dari jawaban DN Aidit dapat disimpulkan sebenarnya ia sendiri percaya kepada Tuhan. Imam Abu Hanifah berdebat dengan seorang yang atheis, dia menanyakan ” Apakah anda percaya bila saya katakan ada sebuah kapal dengan muatan yang penuh di tengah tengah ombak besar lautan ia tetap bisa berlayar dengan baik meskipun tanpa nahkoda ? Orang atheis itu pun menjawab ” Tentu tidak percaya”. Nah, begitu pula dengan alam semesta ini, bagaimana mungkin alam semesta ini yang sangat luas dapat berjalan sangat teratur dengan sendirinya ? tentulah ada yang menciptakannya, kata Imam Abu Hanifah. Di waktu lain Syeikh Abu Hammad diundang oleh orang orang atheis yang ingin berdebat dengannya periha “Dzat Allah”. Karena sesuatu hal Syeikh Abu Hammad memerintahkan mruidnya, Imam Abu Hanifah untuk memenuhi undangan kelompok orang atheis tersebut. Percakapan pun dimulai. Orang Atheis “Tahun berapa tuhan engkau diciptakan ?” Imam Abu Hanifah ” Tuhan tidak dilahirkan, kalau tuhan dilahirkan tentunya dia punya ayah dan ibu, lam yalid wa lam yuulad”. Orang Atheis “Tahun berapakah tuhan muncul ?” Imam Abu Hanifah ” Tuhan ada sebelum adanya waktu dan penanggalan, Tuhan lah yang menciptakan waktu”. Orang Atheis “Kami minta contoh kongkrit”. Imam Abu Hanifah Bilangan berapa sebelum empat ?” Orang Atheis ” Tiga”. Imam Abu Hanifah Bilangan berapa sebelum tiga ?” Orang Atheis ” Dua”. Imam Abu Hanifah Bilangan berapa sebelum dua ?” Orang Atheis ” Satu”. Imam Abu Hanifah Bilangan berapa sebelum satu ?” Orang Atheis ” Tidak ada “ Imam Abu Hanifah Jika dalam ilmu hitung saja tidak ada sebelum satu, bagaimana dengan satu hakiki adanya tuhan ? Sesungguhnya Dia lah yang permulaan dan yang akhir”. Orang Atheis “Kemanakah arah Tuhan menghadap?” Imam Abu Hanifah” Jika kita menghadapkan sebua lampu di dalam kegelapan, maka ke arah manakah cahaya lampu itu?” Orang Atheis ” Ke semua arah “ Imam Abu Hanifah ” Begitulah , juka cahaya yang dibuat oleh manusia saja seperti itu bagaimana dengan cahaya langit dan bumi?” Orang Atheis ” Bagaimana bentuk Dzat Tuhan, apakah dia seperti air, besi atau seperti asap ?” Imam Abu Hanifah “Pernahkah anda melihat orang sakratul maut dan meninggal ? apakah yang terjadi ?” Orang Atheis “Keluarnya ruh dari jasad “. Imam Abu Hanifah ” Bagaimana bentuk ruh ?” Orang Atheis “Kami tidak tahu” Imam Abu Hanifah ” Bagaimana kita bisa menjelaskan ruh Dzat Tuhan, sementara ruh ciptaan -Nya saja anda tidak tahu”. Orang Atheis “Lantas di tempat manakah tuhan berada ?” Imam Abu Hanifah “Kalau kita menyuguhkan susu segar, maka di dalam susu itu adakah minyak samin ?” Orang Atheis “ya. Imam Abu Hanifah ” Dimanakah letak minyak samin ?” Orang Atheis “Minyak samin itu bercampur menyebar di dalam kandungan susu”. Imam Abu Hanifah ” Bagaimana aku harus menujukkan dimana Allah berada, kalau minyak samin yang ciptaan manusia saja tidak dapat anda lihat dalam kandungan susu itu ?” Orang Atheis “Jika semua yang ada dunia ini sudah ditakdirkan, lalu apa yang dikerjakan Tuhan sekarang ?” Imam Abu Hanifah ” Menunjukkan apa yang telah diciptakan -Nya, meninggikan derajat sebagian manusia dan merendahkan sebagian manusia lainnya. Orang Atheis ” Jika waktu permulaan masuknya manusia ke surga ada, mengapa tidak ada akhir waktunya “ Imam Abu Hanifah ” Bukankah ilmu hitung yang kita kenal ada awalan, namun tidak ada akhirannya ?” Orang Atheis ” Jika di surga diceritakan ada selalu ada makan – seperti di dunia sekarang ini, kenapa tidak ada buang air besar atau buang air kecil ?” Imam Abu Hanifah “Bukankah selama 9 bulan di kandungan janin selalu makan melalui darah ibu, dan tidak buang air besar atau air kecil ? Orang Atheis ” Bagaimana mungkin kenikmatan makanan di surga tidak akan habis selamanya ?” padahal terus menerus dimakan “. Imam Abu Hanifah ” Bukankah kalau ilmu yang diamalkan tidak membuat kita bodoh, justeru membuat kita lebih pintar ?” Di waktu yang lain Imam Abu Hanifah diundang oleh kelompok atheis yang lain untuk membicarakan masalah Dzat Tuhan. Janji yang disampaikan Imam Abu Hanifah adalah sebelum tengah hari, namun matahari sudah condong ke barat Imam Abu Hanifah belum juga datang. Dengan wajah yang agak marah kelompok atheis itu membanggakan diri, kalau sang ulama itu tidak sanggup berdebat dengan dirinya karena tidak memounyai dalil dalil yang cukup kuat untuk membuktikan kebenaran adanya Tuhan. Hari menjelang sore, sang ulama pun belum juga muncul. Akhirnya kelompok atheis ini ingin membubarkan diri. Di saat itulah Imam Abu Hanifah muncul. Dengan marah kelompok atheis itu bertanya, kenapa janjinya molor. Imam Abu Hanifah pun meminta maaf, dan bercerita. ” Tadi saya sebelum siang sudah berangkat dari rumah, namun pada saat saya akan melalui sungai, saya tidak menemukan satu orang pun Tukang Perahu. Kemudian saya tunggu sampai siang, namun belum juga datang si tukang perahu yang akan menyeberangkan saya ke desa ini. Tapi tiba tiba ada beberapa potong kayu yang hanyut di hadapan saya kemudian dengan sendirinya dia merakit sendiri satu per satu potongan kayu tersebut menjadi perahu yang sangat bagus. Akhirnya saya menaiki perahu tersebut dan sampailah saya menyeberangi sungai yang membatasi desa ini. Atas cerita Imam Abu Hanifah tersebut, orang orang atheis itu serentak mengatakan ” Kamu pembohong !” mana mungkin potongan kayu itu dapat dengan sendirinya menjadi perahu yang bagus tanpa ada yang membuatnya “. Imam Abu Hanifah pun menjawab, ” demikian juga dengan alam semesta yang luas dan teratur ini, mana mungkin tercipta dengan sendirinya, pastilah ada yang membuatnya, Dia lah Allah swt. !” Ada juga dalil dalil akal yang lain seperti Imam Syafi’i ketika ditanya tentang Tuhan, dia berkata ” Dalil ku adalah daun kertau, karena meski daun itu punya rasa, bentuk, warna dan kndungan zat yang sama, tetapi kalau ia dimakan oleh ulat sutera ia dapat menghasilkan kain sutera, jika ia dimakn oleh lebah maka ia akan menghasilkan madu, jika ia dimakan oleh domba maka ia akan menghasilkan bulu, daging dan susu domba, jika ia dimakan oleh rusa maka ia dapat menggemukkannya dan membuat bau wangi di tanduknya. Akhirnya siapakah yang mengatur itu semua padahal satu sumber makanan yang berbeda, tetapi dapat menghasilkan bermacam macam zat yang berbeda beda ?” jawabannya adalah Allah swt, Sang Pencipta alam semesta. Itulah pembuktian akal atas Dzat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Pencipta. Sesungguhnya akal kita diciptakan dalam keterbatasan, namun demikianlah Allah memerintahkan kita untuk selalu berpikir atas segala sesuatu yang telah diciptakan Nya. Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir. Alangkah celakanya kita, kalau semua tanda tanda kekuasaan Allah swt yang terlihat dan terasa oleh kita saja tidak dapat menumbuhkan suatu bentuk keimanan dalam diri kita. Perasaan iman adalah fitrah yang tidak mungkin dibohongi oleh semua makhluk Tuhan, mungkin secara lisan dia tidak mengakuinya, tetapi hakikat iman pastilah ada di dalam ruhnya masing-masing. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah. Bagaimana mungkin manusia yang sombong dapat melakukan atau menciptakan sebuah atau sesuatu barang satu saja persis seperti yang Allah ciptakan ? Tidaklah mungkin. Teknologi manapun tidak akan pernah membuat atau menciptakan persis dengan yang Allah ciptakan. Dan apabila ada orang yang kufur tertutupi atas kekuasaan Allah swt, maka semata mata karena mereka tidak mengerti, yang pada akhirnya ketidakmengertiannya akan menutupi mata hatinya sendiri, padahal hati mereka yang sebenar benarnya mengakui atas Dzat Allah swt Sang Pencipta. Akhirul kalam, tidakkah kita malu kepada Sang Pencipta padahal kita tahu bahwa kita ada yang menciptakan. Masih pantaskah kita menyombongkan diri di hadapan Dzat Yang Maha Besar? Tidaklah setiap orang menciptakan dirinya sendiri, sehingga ia dapat menyombongkan diri. Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? “Sesuatu yang tidak ada, tidak mungkin menciptakan sesuatu yang ada ” Semoga menjadi pelajaran untuk kita di dalam mencari kebenaran suatu jawaban, jgn takut salah karena bila kita salah kita bisa perbaiki bersama2. Jangan merasa benar karena kebenaran milik ALLAH SWT. Allahuma ini as aluka bismika Ya ALLAH , Ya RAHMAN, Ya RAHIM, Ya KARIM, Ya MUQIM, Ya HAKIM. Sifat Wajib dan Mustahil Bagi Allah Wahdaniyah Beserta Artinya Sifat Wajib dan Mustahil Bagi Allah Wahdaniyah Beserta ArtinyaSebarkan iniPosting terkait Wajib bagi Allah Ta’ala mempunyai sifat ”Wahdaniah” di dalam sifat, Dzat dan perbuatan Af’al-Nya. Adapun makna Wahdaniah dalam Dzat adalah bahwa Dzat Allah Ta’ala tidak tersusun dari bagian yang banyak, karena hal itu dapat dikatakan ”Kam muttashil” susunan dari bilangan yang bersambung di dalam Dzat-Nya. Tidak akan ada Dzat yang serupa dengan Dzat Allah Ta’ala atau ”Kam munfashil” susunan dari bilangan yang terpisah di dalam Dzat. Akan tetapi, Esa di dalam Dzat memiliki arti; tidak adanya susunan dari beberapa bagian itu bukti dalil dari sifat mukhalafatu lil hawadisi sebagaimana uraian yang telah lalu. Adapun arti dari sifat Wahdaniah di dalam Dzat adalah tidak adanya banyak sifat. Oleh karena itu, Allah Ta’ala tidak mempunyai dua sifat, baik sebutan ataupun makna. Baca Juga Qiyamuhu Binafsihi Artinya Jelasnya, bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki dua sifat dan seterusnya dari jenis yang satu, seperti dua sifat Qudrat atau dua sifat Ilmu dan sebagainya. Karena tidak terdapatnya bilangan didalam sifat, maka dikatakan ”Kam Muttashil” di dalam sifat-Nya. Dan tidak adanya perkara yang menyamai di dalam sifat, yaitu tidak adanya segala sifat bagi mahluk yang menyerupai pada sifat Allah Ta’ala dan sebaliknya, maka dikatakan ”Kam Munfashil” di dalam sifat-Nya. Sedang makna Wahdaniah di dalam perbuatan af’al adalah, bahwa tidak ada satupun perbuatan mahluk yang sama dengan Allah Ta’ala. Oleh karena itu, hal tersebut dikatakan ”Kam Muttashil” di dalam perbuatan. Dan apabila dicontohkan dengan berbagai af’al, maka hal itu sangat jelas, Bahkan tidak sah tidak mungkin meniadakan sejumlah perbuatan, karena af’al Allah Ta’ala banyak sekali seperti; menciptakan mahluk, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan lain sebagainya. Dan apabila dicontohkan dengan sekutu Allah Ta’ala, maka sekutu itupun akan tertolak oleh sifat Wahdaniah Allah Ta’ala dalam af ”al-Nya. Jadi, Allah Ta’ala adalah Esa di dalam menjadikan dan menciptakan yang tak pernah ada sebelumnya. Dia yang menciptakan mahluk dan segala perbuatan mereka sekaligus menentukan rezeki dan ajalnya. Ringkasnya, bahwa sifat Wahdaniah yang ada pada Dzat Allah Ta’ala sifat dan af’al yang Esa dapat menolak pada ”Kam” yang lima, yaitu Baca Juga mukhalafatu lil hawaditsi artinya Kam muttashil di dalam Dzat, ialah tersusunnya Allah Ta’ala dari beberapa bagian. Kam munfashil di dalam Dzat, ialah bilangan yang sekiranya terdapat tuhan kedua dan seterusnya. Dua Kam, yakni point 1 dan 2 tertolak oleh sifat tunggal Dzat. Kam muttashil di dalam sifat, ialah bilangan bagi sifat Allah Ta’ala dalam satu jenis, seperti sifat hidrat dan sebagainya. Kam munfashil di dalam sifat, ialah bila selain Allah Ta’ala mempunyai sifat yang menyerupai sifat Allah Ta’ala. Seperti bagi Zaid mempunyai sifat kuasa derat, di mana dengan sifat ini ia bisa mewujudkan atau1 meniadakan sesuatu. Dan sifat-sifat yang lain seperti lradat dan ilmu. Ke dua ”Kam” inipun tertolak oleh sebab tunggalnya Allah Ta’ala di dalam sifat. Kam munfashil dalam perbuatan, ialah apa yang dinisbatkan kepada selain Allah Ta’ala dengan jalan mencari dan memilih atau bekerja dan berusaha. Dan ”Kam” inipun tertolak oleh sifat tunggal Allah Ta’ala di dalam af’al. Adapun lawannya adalah bilangan yang dalil sifat Wabdaniahnya berada di dalam Dzat tidak adanya bilangan yang bertemu dalam Dzat tersebut yaitu dalil sifat Mukhalafatu lil hawadisi yang telah diuraikan di atas. Adapun dalil Wahdaniab di dalam sifat, di mana tidak adanya bilangan yang bertemu dengan sifat tersebut mustahil ditentukan oleh angan-angan maupun ucapan. Sedangkan dalil Wahdaniyah dalam arti tidak adanya yang menyamai Allah Ta’ala di dalam Dzat dan sifat-Nya, ialah apabila keberadaan Allah Ta’ala itu berbilang, niscaya tidak akan pernah ada mahluk. Akan tetapi, tidak adanya mahluk juga batal karena telah terwujud kenyataan keberadaan manusia saat ini. Karenanya, pernyataan yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala itu berbilang adalah batal. Dan apabila berbilangnya Allah Ta’ala batal, maka jelaslah Allah Ta’ala bersifat tunggal. Sudah dapat dipastikan bahwa banyaknya Tuhan akan mengakibatkan hancurnya alam ini tidak mungkin terbentuk. Karena, adakalanya keduanya bersepakat dan adakalanya berselisih. Apabila keduanya bersepakat, maka tidak mungkin keduanya bisa mewujudkan alam ini secara bersamaan dan agar tidak terjadi perpaduan dua reaksi pada satu titik sasaran. Baca Juga Al Muhshii Artinya Dan tidak pula dapat keduanya mewujudkan alam ini dengan cara bergantian, salah satunya lebih dahulu mewujudkan alam, kemudian disusul yang lainnya. Tidak mungkin keduanya bersekutu di dalam mewujudkan alam, dengan cara yang mendapat bagian setengah dan yang lain sebagian sisanya. Dengan diadakannya persekutuan, sudah tampak kelemahan masing-masing. Sebab, ketika salah satunya menggantungkan kekuasaan di dalam mewujudkan sebagian alam, maka akan menutup jalan Tuhan lain di dalam menggantungkan kekuasaannya untuk mewujudkan sebagian alam sisanya Tuhan yang lain pun tidak mampu menentangnya dan hal ini merupakan kelemahan. Inilah yang dinamakan dalil saling tolak-menolak, karena di dalamnya terdapat dua Tuhan yang saling bertentangan dalam melaksanakan satu pekerjaan. Apabila keduanya bertentangan dengan cara salah satunya ingin mewujudkan sesuatu dari alam, sedangkan yang lain tidak menginginkannya, maka tidaklah mungkin dapat tercapai kehendak keduanya. Sebab, hal ini nantinya akan terjadi perpaduan antara dua Tuhan yang saling bertempur dan tidak mungkin keinginan mereka akan samasama terpenuhi, karena sudah jelas kelemahannya. Dan tidak mungkin yang satu dapat mencapai keinginannya, sedang yang lain tidak tercapai. Karena, pasti kelemahan Tuhan yang tidak tercapai maksudnya akan sama dengan yang lain, disebabkan adanya kesamaan di antara keduanya. Maka, dalil semacam ini dinamakan dengan dalil yang saling tarik-menarik, karena keduanya saling merintangi dan saling tentang-menentang. Adapun dalil sifat Wahdaniah di dalam af’al karena tidak adanya “Kam muttashil” di dalamnya tidak adanya persekutuan Tuhan yang lain dalam perbuatan dengan Allah Ta’ala, maka hal ini termasuk pula di dalam uraian yang telah tersebut pada dalil yang saling tolak-menolak. Baca Juga Al Hamid Artinya Sedangkan dalil sifat Wahdaniah di dalam af’al karena tidak adanya ”Kam munfashil” di dalam bahwasanya selain Allah Ta’ala mempunyai kesan pada perbuatan dan semua yang dilakukan oleh dirinya sendiri, maka dapat ditebak, bahwa kesan tersebut adalah memang watak yang dimiliki oleh selain Allah Ta’ala. Sudah barang tentu hal tersebut memberi tidak membutuhkan Allah Ta’ala. Mengapa tidak dibutuhkan, sedangkan Allah Ta’ala selalu dibutuhkan oleh mahluknya? Apabila anda mengira bahwa pada apa yang dapat memberi kesan itu di sebabkan adanya kekuatan yang dijadikan oleh Allah Ta’ala di dalamnya seperti dugaan kebanyakan orang mukmin yang masih awam, maka mereka akan meyakinkan beberapa sebab yang bersifat kebiasaan itu dapat memberi kesan dengan adanya kekuatan yang dijadikan Allah Ta’ala di dalam sebab itu. Apabila Allah Ta’ala mencabutnya, maka sebab-sebab tersebut tidak akan memberi kesan apa-apa. Seperti pemahaman orang awam, bahwasanya makan dapat memberi kesan wujudnya kenyang, minum dapat memberi kesan segar, api dapat memberi kesan terbakar, pisau dapat memberi kesan dalam memotong dengan sebab kekuatan yang dijadikan oleh Allah Ta’ala di dalam semuanya itu, maka prasangka awam ini pun batal juga. Dengan demikian, Allah Ta’ala di dalam mewujudkan perbuatan akan membutuhkan perantara. Akan tetapi, keadaan yang sebenarnya, secara mutlak Allah Ta’ala tidak membutuhkan bantuan kepada siapapun. Namun, orang yang mempunyai keyakinan tersebut tidaklah menjadi kafir. Hanya saja, ia masuk dalam kategori orang yang fasik keluar dan jalan yang haq serta kesalihan. Yang mendekati keyakinan orang awam adalah kaum mu’tazilah. Mereka meyakini bahwa seorang hamba dapat berbuat untuk dirinya apa-apa yang sifatnya ikhtiari, yaitu dengan kekuatan yang dijadikan oleh Allah Ta’ala kepadanya. Jadi, barangsiapa meyakinkan, bahwa sebab-sebab yang bersifat kebiasaan seperti; api, makanan, minuman, pisau dan lain-lain dapat memberi kesan kepada obyeknya seperti; kebakaran, kenyang, segar, putus, maka ia adalah kafir menurut Ijma’ ulama. Baca Juga Al Waliyy Artinya Atau meyakinkan kalau kesan yang diberikan itu disebabkan adanya kekuatan yang dijadikan Allah Ta’ala pada api, kenyang, segar, potongan dan lain-lain, maka di sini ada dua pendapat. Pendapat yang benar adalah dia tidak menjadi kafir, karena pengakuan mereka bahwa kekuasaan seorang hamba untuk menciptakan pekerjaan ini dari Allah Ta’ala. Hanya saja fasik dan termasuk dalam golongan ahli bid’ah. Yang sama dengan keyakinan tersebut adalah pendapat orangorang Mu’tazilah. Mereka mengatakan, bahwa seorang hamba dapat berkehendak sendiri dengan kekuatan yang dijadikan Allah Ta’ala kepadanya. Barangsiapa meyakini, bahwa yang memberi kesan adalah Allah Ta’ala dan Dia menjadikan sebab akibat yang saling menetapkan menurut akal. Sebagai suatu kepastian, maka begitu timbul sebab timbul pula akibat. Dengan kata lain, setiap ada reaksi pasti ada dampaknya dan yang mempunyai keyakinan seperti itu adalah bodoh. Barangsiapa mempunyai keyakinan, bahwa yang memberi akibat adalah Allah Ta’ala. Hanya saja, antara sebab dan akibat saling menetapkan menurut kebiasaan dari segi tidak adanya kepastian, maka orang yang mempunyai keyakinan seperti ini dinamakan mukmin yang selamat. Jika sekiranya Allah Ta’ala wajib mempunyai sifat Wahdaniah, maka akan mustahil Allah Ta’ala mempunyai sifat banyak lawan dari sifat Esa. Ketahuilah, bahwa pembahasan tentang sifat Wahdaniah adalah menupakan suatu pembahasan yang mulia dan indah. Karena itu, banyak sekali peringatan-peringatan didalam Al-Qu’an yang disini penulis tidak menyebutkannya. Adapun enam sifat yang diawali dari sifat Wujud dinamakan sifat “Nafsiah’, karena sifat-sifat ini tidak menunjukkan makna yang melebihi keadaan dzat. Dan lima sifat sesudahnya dinamakan sifat “Salbiah” karena menunjukkan Nafinya hal-hal yang tidak sesuai dengan Allah Ta’ala. Baca Juga Al Matin Artinya Menurut pendapat yang lebih sahih, sifat salbiab tidak terbatas, karena sifat kurang itupun tidak ada batasnya semuanya dirahasiakan oleh Allah Ta’ala. Dan yang lima tersebut merupakan pokok, karena yang lainnya tidak adanya isteri, anak dan pembantu bagi Allah Ta’ala akan kembali kepada lima sifat tersebut.[1] PERTANYAAN Apa Pengertian Dzat’ Allah Swt? Assalamualaikum Wr. Wb. Ustadz, ini penting. Dia-lah Allah dzat yang maha tinggi. Terus Kalimat dzat itu artinya apa? [Arto]. JAWABAN dari pertanyaan Pengertian Dzat’ Allah Swt Wa’alikumussalam Wr. Wb. Allah adalah dzat bukan sifat, karena Allah tersifati oleh sifat-sifat wujud, qidam, baqo… dll. Sesuatu yang disifati oleh sifat adalah dzat. Sifat adalah sesuatu yang menempel berada pada dzat yang disifatinya, sifat tak mungkin ada kecuali pada dzat, sifat tak bisa berdiri sendiri. Contoh pada kata “baju putih” putih adalah sifat yang berada pada dzat yang disifatinya baju, tak mungkin ada putih tapi berpisah dari bajunya. Karena dengan mengetahui sifat kita bisa mengetahui dzat yang disifatinya maka para ulama tauhid mewajibkan kita untuk mengetahui sifat-sifat yang wajib aqliy bagi Allah. Warning…! ﺗﻔﻜﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﻭﻻ ﺗﻔﻜﺮﻭﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻪ Hadist itu sebagai larangan untuk berfikir/menggambarkan tentang bagaimana haqiqat dzat Allah. Misalnya; Apakah Allah itu pendek? Tinggi? Laki laki? Kurus? Atau bagaimana? Karena sesuatu yang terlintas dalam fikiran kita adalah baru. Sedangkan Allah terbebas dibersihkan dari tanda-tanda yang baru. ليس كمثله شيء Allah tidak menyerupai sesuatu apapun. Referensi حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب ج١ ص٢٣ وَاَللَّهُ عَلَمٌ عَلَى الذَّاتِ الْوَاجِبِ الْوُجُودِ الْمُسْتَحِقِّ لِجَمِيعِ الْمَحَامِدِ لَمْ يَتَسَمَّ بِهِ سِوَاهُ تَسَمَّى بِهِ قَبْلَ أَنْ يُسَمَّى وَأَنْزَلَهُ عَلَى آدَمَ فِي جُمْلَةِ الْأَسْمَاءِ. قَالَ تَعَالَى {هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا} [مريم 65] أَيْ هَلْ تَعْلَمُ أَحَدًا سُمِّيَ اللَّهَ غَيْرَ اللَّهِ قَوْلُهُ عَلَى الذَّاتِ أَيْ عَلَى الْفَرْدِ الْخَالِقِ لِلْعَالَمِ بِقَطْعِ النَّظَرِ عَنْ الصِّفَاتِ، وَإِلَّا لَمَا أَفَادَ التَّوْحِيدُ لِأَنَّ الصِّفَاتِ كُلِّيَّةٌ وَهَذَا فِي أَصْلِ الْوَضْعِ، ثُمَّ صَارَ دَالًّا فِي الِاسْتِعْمَالِ عَلَى الصِّفَاتِ نَظَرًا لِلْوُجُودِ لَا بِالْوَضْعِ وَتَاؤُهَا لَيْسَتْ لِلتَّأْنِيثِ بَلْ لِلْوَحْدَةِ، وَلِهَذَا وُصِفَتْ بِالْوَاجِبِ الْوُجُودِ عَلَى لَفْظِ الْمُذَكَّرِ. فَإِنْ قُلْت ذَاتُ اللَّهِ لَا تُدْرَكُ بِالْعَقْلِ فَكَيْفَ وُضِعَ لَهَا الْعَلَمُ؟ قُلْت يَكْفِي إدْرَاكُهَا بِتَعَقُّلِ صِفَاتِهَا، هَذَا إنْ قُلْنَا إنَّ الْوَاضِعَ غَيْرُ اللَّهِ وَهُوَ مَرْجُوحٌ، أَمَّا إنْ قُلْنَا الْوَاضِعُ هُوَ تَعَالَى وَهُوَ الرَّاجِحُ فَلَا إشْكَالَ. قَوْلُهُ الْوَاجِبِ الْوُجُودِ بَيَانٌ لِلْمَوْضُوعِ لَهُ لَا دَاخِلٌ فِيهِ، وَإِلَّا كَانَ مَدْلُولُهُ ذَاتًا وَصِفَةً فَيَكُونُ كُلِّيًّا، وَإِنَّمَا حُكِمَ بِأَنَّهُ أَيْ اللَّهَ عَلَمٌ لِأَنَّهُ يُوصَفُ وَلَا يُوصَفُ بِهِ، وَلِأَنَّهُ لَا بُدَّ لَهُ تَعَالَى مِنْ اسْمٍ تَجْرِي عَلَيْهِ صِفَاتُهُ وَلَا يَصْلُحُ لِذَلِكَ مِمَّا يُطْلَقُ عَلَيْهِ سِوَاهُ أَيْ اللَّهِ، وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ وَصْفًا لَمْ يَكُنْ قَوْلُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ تَوْحِيدًا، وَنُقِلَ كَوْنُهُ مُرْتَجَلًا أَيْ لَا اشْتِقَاقَ لَهُ عَنْ إمَامِنَا الشَّافِعِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَإِمَامِ الْحَرَمَيْنِ وَتِلْمِيذِهِ الْغَزَالِيِّ وَالْخَطَّابِيِّ وَالْخَلِيلِ وَابْنِ كَيْسَانَ وَغَيْرِهِمْ. قَالَ بَعْضُهُمْ وَهُوَ الصَّوَابُ. قَالَ بَعْضُ الْمُحَقِّقِينَ وَمَا يُقَالُ مِنْ الْخِلَافِ فِي أَنَّهُ مُشْتَقٌّ أَوْ غَيْرُ مُشْتَقٍّ إنَّمَا هُوَ فِي لَفْظِ إلَهٍ لَا لَفْظِ اللَّهِ اهـ. Wallohu a’lam semoga bermanfaat. [Kopi Pait, Abdul Karim Al Madanie] Sumber tulisan ada disini. Silahkan baca juga artikel terkait. Pos terkaitHadits Tentang Nabi Ibrahim AS dan Malakul MautPenjelasan Penutupan Catatan Amal Di Malam Nisyfu Sya’banKehidupan Para Wali di Alam Barzakh Menurut Habib Luthfi Bin Yahya

pengertian dzat allah dan dalilnya